Konservasi Bangunan Kerta Niaga pada Kawasan Kota Tua, Jakarta

Standard

LATAR BELAKANG

Jakarta sebagai Ibukota Indonesia, memiliki sejarah yang panjang hingga menjadi kota metropolitan seperti saat ini sebuah kota besar tidak luput dari sejarahnya. Jakarta dulu dikenal dengan nama Batavia, Awal mula Batavia berawal dari pelabuhan Sunda kelapa kemudian berkembang ke daerah sekitar pelabuhan sehingga pusat pemerintahan Batavia masih di sekitar kawasan pelabuhan yang kini disebut dengan Kawasan Kota Tua Jakarta. Diusianya yang sudah tua, kawasan ini memiliki nilai historis yang tinggi, maka sudah sepatutnya warisan tersebut harus terus dilindungi dan dipertahankan kelestariannya.

Konservasi Arsitektur merupakan  upaya penyelamatan/pelestarian obek/bangunan sebagai bentuk apresiasi pada perjalanan sejarah suatu bangsa dan sebagai warisan bangsa antar generasi. Karena, sebuah negara yang berhasil tak luput dari sejarahnya. Kawasan Kota tua sudah ditetapkan menjadi cagarbudaya oleh pemerintah setempat, kawasan sejarah terbagi menjadi beberapa zona yaitu, zona pelabuhan, zona kota tua, zona pecinan, zona pekojan dan zona glodok.

Upaya konservasi terus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mencegah hilangnya identitas serta meningkatkan pariwisata dan bisnis kawasan Kota Tua Jakarta. Melihat kondisi Kota Tua yang masih banyak memiliki permasalahan, maka perlu adanya upaya menyeluruh dari berbagai lapisan masyarakat khususnya di Ibukota Jakarta untuk mewujudkan Kota Tua sebagai kawasan pariwisata dan kawasan cagar budaya yang mendukung Kota Jakarta.

Disi lain permasalahan terdapat dikawasan ini, image kota tua yang masih dinilai kurang dalam segi fasilitas penunjang kawasan yang berakibat kurang nyamannya area terbuka bagi pengunjung terlebih ketika cuaca sangat terik, kondisi infrastruktur yang kurang mendukung, lalu lintas yang tidak teratur, kualitas lingkungan yang masih rendah, serta area parkir yang masih berantakan. Mengingat konservasi suatu bangunan bersejarah itu sangat penting maka dengan alasan tersebut penulis membuat tugas penulisan ini untuk mengidentifikasi tingkat pemugaran di kawasan Kota Tua Jakarta.

JENIS KEGIATAN PELESTARIAN

Highfield (1987: 20-21) menjabarkan tingkat perubahan pada tindakan pelestarian dalam tujuh tingkatan, yakni;

  1. Perlindungan terhadap seluruh struktur bangunan, beserta dengan subbagian-bagian penyusunnya, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana-prasarana. Dalam tingkat pelestarian yang paling rendah, perubahan yang memungkinkan terjadi adalah perbaikan tangga eksisting untuk disesuaikan dengan kebutuhan lift, penggunaan sistem penghawaan buatan sederhana yang dikombinasikan dengan penghawaan alami;
  2. Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior bangunan, termasuk atap dan sebagian besar interiornya, dengan perubahan kecil pada struktur internal, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana saniter. Perubahan struktural dapat melibatkan demolisi beberapa subbagian interior, atau penambahan tangga baru, dan apabila memungkinkan shaft lift;
  3. Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior eksisting, termasuk atap, dengan perubahan besar pada struktur internal serta perbaikan finishing, utilitas, dan sarana saniter. Perubahan besar pada struktur internal dapat melibatkan penambahan tangga beton bertulang yang baru, instalasi lift, demolisi dinding struktur pada interior secara skala yang lebih luas, atau penambahan lantai baru selama sesuai dengan ketinggian lantai aslinya;
  4. Perlindungan seluruh dinding selubung bangunan, dan demolisi total pada atap dan interiornya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang terisolasi, seluruh dinding fasad eksternal layak untuk dilindungi, tapi pengembangan ke depannya menbutuhkan wadah untuk fungsi yang sama sekali baru, bebas dari elemen internal bangunan eksisting;
  5. Perlindungan hanya pada dua atau tiga penampang/tampak bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan pembangunan bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang tapaknya terletak pada sudut pertemuan dua atau lebih jalan;
  6. Perlindungan hanya pada satu penampang/tampak bangunan, sebuah dinding fasade dari bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasad. Opsi ini dapat dilakukan apabila bangunan tersebut hanya memiliki satu fasad yang penting, tampak bangunan yang penting tersebut menghadap jalan utama dan seluruh sisa tampaknya menempel pada bangunan di sekelilingnya; dan
  7. Opsi paling drastis pada pengembangan kembali adalah dengan tidak memberikan pilihan untuk pelestarian, tetapi dengan demolisi total bangunan eksisting dan menggantinya dengan bangunan yang baru.

KRITERIA PELESTARIAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA

A. Kriteria Tolak Ukur dan Penggolongan Benda Cagar Budaya

Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:

  • Tolak ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  • Tolak ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
  • Tolak ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
  • Tolak ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.
  • Tolak ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.

Dari kriteria dan tolak ukur di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni:

  • Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.
  • Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian.
  • Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.

B) Klasifikasi bangunan Cagar Budaya di Indonesia

  • Gaya Bangunan

Kriteria bangunan di Indonesia khususnya Jakarta. Bangunan-bangunan peninggalan dan memiliki nilai sejarah harus di pelihara dan dilestarikan bentuk bangunannya di Kawasan Jakarta Utara cukup banyak bangunan peninggalan khususnya kawasan Kota Tua Jakarta, Berdasarkan sejarah perkembangan arsitektur  yang ada di Indonesia, tipologi bangunan dibagi menjadi :

1)Bangunan masyarakat Kolonial Eropa

  • Bangunan periode  VOC   (abad   XVI-XVII),    arsitektur         periode pertengahan Eropa.

Ciri-ciri bangunan ini adalah kesan tertutup, sedikit bukaan, jendela besar tanpa tritisan, tanpa serambi.

  • Bangunan periode negara kolonial (Neo Klasik Eropa).

Ciri-ciri bangunan ini adalah atap-atap tritisan, veranda dan jendela- jendela krepyak

  • Bangunan modern kolonial (abad XX)

Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Art Deco dan Art Nouveau.

Bangunan masyarakat China.

  • Ciri-ciri bangunan ini adalah berupa shop houses bergaya Cina Selatan, terletak di sekitar core inti wilayah utama suatu daerah. Contohnya: bangunan klenteng yang ada di Petak 9 di daerah Glodok.

3) Bangunan masyarakat pribumi.

  • Ciri-ciri bangunan ini adalah berada di luar benteng, berupa rumah panggung namun ada juga yang langsung menyentuh lantai, menggunakan bahan-bahan alami. Saat ini bangunan dengan tipologi sudah banyak yang punah.

4) Bangunan modern Indonesia.

  • Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Internasional Style. Contohnya: Gedung BNI 46 yang berada di dekat Stasiun Kota.

C) Golongan bangunan

Berdasarkan Perda DKI Jakarta No.9/ 1999 Pasal 10 ayat 1, bangunan cagar budaya dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

1)Golongan A

Pemugaran bangunan pada golongan ini merupakan upaya preservasi berdasarkan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 19):

  • Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah
  • Apabila kondisi bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya
  • Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/ sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada.
  • Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/ perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya

2)Golongan B

Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya preservasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 20):

  • Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya
  • Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting
  • Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan
  • Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi suatu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.

3) Golongan C

Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya rekonstruksi dan adaptasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 21):

  • Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan
  • Detail rnament dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan
  • Penambahan bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan
  • Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota.
  • Pemanfaatan Kembali Bangunan Cagar Budaya

Secara keseluruhan ada 3 cara pemanfaatan kembali bangunan cagar budaya (R.M. Warner, S.M. Groff, R. P Warner, 1978, p. 17), yaitu:

a) Continued Use

Cara ini berupa penggunaan kembali bangunan tua sesuai dengan fungsi lamanya ketika pertama kali didirikan serta dapat juga ditambahkan fungsi baru sebagai pendukung fungsi utamanya.

b) Adaptive Re-use

Cara ini berupa penggunaan kembali bangunan tua dengan mengubah fungsi awal dari bangunan tersebut dengan menyesuaikan pada keadaan pada masa sekarang.

c) New Additions

Cara ini berupa penambahan konstruksi baru atau membangun struktur baru pada struktur sebelumnya dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan bangunan sebelumnya.

STUDI KASUS

A. Sejarah Kawasan Kota Tua

Kota Tua Jakarta, juga dikenal dengan sebutan Batavia Lama (Oud Batavia), adalah sebuah wilayah kecil di Jakarta, Indonesia. Wilayah khusus ini memiliki luas 1,3 kilometer persegi melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia, Taman Sari dan Roa Malaka).

Dijuluki “Permata Asia” dan “Ratu dari Timur” pada abad ke-16 oleh pelayar Eropa, Jakarta Lama dianggap sebagai pusat perdagangan untuk benua Asia karena lokasinya yang strategis dan sumber daya melimpah.

B. Aktifitas di Kawasan Kota Tua Jakarta

Berikut merupakan diagram aktifitas pengunjung Kawasan Kota Tua dan Zonasi Tata Letak masa bangunan.

1

C. Pelestarian Gedung Kerta Niaga

1) Sejarah Gedung Kerta Niaga

3

Gedung Kerta Niaga

Dibangun sekitar abad ke 19, keberadaan bangunan ini membentuk lingkungan bersejarah di kawasan tersebut yang mempunyai daya tarik Pariwisata, khususnya nuansa Kota Tua. Bangunan ini masih asli dan dalam keadaan baik dan cukup terawat. Terjadi penambahan pada elemen jendela.

Gedung Kerta Niaga dibangun sekitar tahun 1912 oleh Biro Arsitek Ed Cuypers en Hulswit, yang dikenal sebagai biro arsitek bermashab Amsterdam. Rancangan arsitektur mereka sangat kuat hubunganya dengan Neo-Renaisance dan Art Nouveau. Bangunan ini sendiri bergaya arsitektur Dutch Closed yang kokoh. Seluruh bangunan gedung berkesan tertutup, dengan atap yang juga tertutup massif. Tak ada ruang terbuka pada bangunan ini. Belakangan dilakukan penambahan elemen jendela yang berbeda dengan bentuk asalnya.

Awalnya bangunan ini digunakan sebagai kantor perusahaan Koloniale Zee en Brand Assurantie Maatschappij. Saat terjadi nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Belanda akhir tahun 1950-an, perusahaan ini berubah nama menjadi P.N. (Perusahaan Negara) Kerta Niaga. Bidang usahanya pun berubah menjadi distributor barang, utamanya sandang-pangan dan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi rakyat. Bangunan ini pun lantas menjadi asset P.N. Kerta Niaga, yang kemudian berubah status menjadi P.T. Kerta Niaga.

Ketika dilakukan efisiensi terhadap Badan Usaha Milik Negara, P.T. Kerta Niaga dilikuidasi dan dilebur ke dalam P.T. Dharma Niaga. Bangunan ini pun turut berpindah pengelolaan, juga ketika dilakukan penggabungan (merger) atas tiga BUMN dibidang perdagangan yaitu, PT Panca Niaga, PT Dharma Niaga, PT Cipta Niaga, menjadi PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero). Meski beralih pengelolaan berkali-kali, kondisi bangunan Kerta Niaga say ini masih cukup baik dan terawat, meski terdapat kerusakan sana-sini karena termakan usia. Unsur-unsur keaslian bangunan pun masih kuat. Sebagai perusahaan Kerta Niaga telah dilikuidasi, tinggallah bekas kantornya, menyisakan kisah sejarah untuk dilestarikan.

2) Arsitektur Bangunan

Arsitektur : Bergaya Dutch Closed

Golongan : B

Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI JakartaGedung Kerta  Niaga

4

fasad gedung Kerta Niaga

Pada gambar, dapat dilihat ornament dihilangkan pada fasad yang merupakan salah satu pencerminan langgam art deco dari gedung tersebut. Maka dari itu, bentuk fasad gedung akan dikembalikan seperti pada tahun 1912 karena pada dasarnya bangunan-bangunan peninggalan dilestarikan tanpa merubah bentuk aslinya untuk menjaga nilai historisnya.

5

denah gedung Kerta Niaga

  • Fungsi gedung pada lantai 1 bersifat terbuka tanpa adanya sekat dengan kolom-kolom di kedua sisinya, lantai ini difungsikan sebagau ruang serbaguna.
  • Lantai 2 memiliki lebih banyak sekat yang difungsikan untuk ruang-ruang kantor dengan material dinding menggunakan bata.

Pencahayaan Alami melalui skylight, ruang dalam bangunan memperoleh cahaya yang cukup terang serta suhu ruangan cukup untuk beraktifitas didalamnya.

3) Kondisi Eksisting Gedung Kerta Niaga

Kini kondisi gedung kerta niaga teridentifikasi memiliki kerusakan yang cukup banyak, khususnya pada bagian lantai, dinding dan plafon baik dibagian dalam maupun dibagian luar. Pada lantai 2 atap mengalami kerusakan.

7

Gambar kerusakan pada dinding 

8

Gambar kerusakan pada plafond

  • Penanganan pelestarian gedung Kerta Niaga dalam upaya konservasi adalah dengan cara Adaptive reuse dimana penggunaan kembali bangunan tua/bersejarah dengan mengubah fungsi awal bangunan dengan menyesuaikan pada keadaan sekarang. Dengan melalui 4 tahap yaitu; understanding, implementation, dan  evaluation.
  • Tahap Understanding dan Implementation dengan cara memahami terlebih dahulu sejarah bangunan, baik estetik bangunan dalam segi elemen bentuk dan material. Sehingga tidak merusak atau mengubah eksistingnya karena dalam melestarikan atau merenovasi bangunan peninggalan tidak boleh mengubah bentuk aslinya karena bangunan tersebut memilii nilai historis tersendiri. Selain itu juga harus memperhatikan konteks sekitar bangunan.

KESIMPULAN

  • Gedung Kerta Niaga merupakan salah satu peninggalan sejarah yang berada dikawasan Cagar Budaya, sehingga emiliki nilai historis yang cukup tinggi. Gedung ini termasuk golongan B dengan gaya arsitektur Dutch-closed.
  • Dalam konservasi arsitektur, untuk jenis bangunan cagar budaya dapat diterapkan Adaptive reuse dimana penggunaan kembali bangunan tua/bersejarah dengan mengubah fungsi awal bangunan dengan menyesuaikan pada keadaan sekarang (untuk fungsinya). Pembaruan bangunan harus dipahami terlebih dahulu sejarang bangunannya sehingga tidak merubah bentuk bangunan.
  • Pembaruan pada gedung Kerta Niaga akan cocok apabila art deco diterapkan karena sesuai dengan masa berdirinya gedung ini yaitu pada tahun 1912 adalah era gaya art deco.

 

Referensi :

Pelestarian Bangunan Karya Arsitektur Antara Arkeologi dan Arsitektur, (Alia Sholeha, 2008, p. 9)

HIDAYATI, RAHMALIA . (2009). cara Pemanfaatan Bangunan Kuno Dan Bersejarah Sehingga Layak Menjadi Bangunan Cagar Budaya. [ONLINE] . tersedia : http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20249496-R050912.pdf [ 06 juni 2016 ]

Pengertian Konservasi Arsitektur

http://farispilararijati.blogspot.co.id/2016/06/konservasi-arsitektur-studi-kawasan.html

STUDI KAWASAN KONSERVASI KOTA TUA JAKARTA: KAWASAN TAMAN FATAHILLAH

http://tookick.blogspot.co.id/2013/04/pt-kerta-niaga_8.html

http://koentjoro7.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-konservasi-arsitektur.html

Jelajah Kota Toea Jakarta

http://ayokejakarta.blogspot.co.id/2012/06/kota-tua.html

http://azhenk2009.blogspot.co.id/

http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1174265&page=19

http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2012/04/beberapa-teori-dalam-pelestarian.html

http://f-pelamonia.blogspot.co.id/2012/05/konservasi-stasiun-jakarta-kota.html

http://kekunaan.blogspot.co.id/2012/07/gedung-ex-nederlandsch-indisch.html

http://slideplayer.info/slide/3061934/

Jelajah Kota Toea Jakarta

ARSITEKTUR MUSEUM BANK INDONESIA

Click to access 2014-2-01221-AR%20WorkingPaper001.pdf

Click to access 2014-2-01221-AR%20Bab5001.pdf

http://www.iai-jakarta.org/?scr=08&ID=242&selectLanguage=2

http://www.indischeliterairewandelingen.nl/index.php/wandelingen/158-jakarta-2-stadhu

Leave a comment